Alkisah,
di sebuah desa terpencil di daerah Jawa Barat, ada seorang janda muda yang kaya
raya dan tidak mempunyai anak. Hartanya yang melimpah ruah dan rumah sangat
besar yang ditempatinya merupakan warisan dari suaminya yang telah meninggal
dunia. Namun sungguh disayangkan, janda itu sangat kikir, pelit, dan tamak. Ia
tidak pernah mau memberikan bantuan kepada warga yang membutuhkan. Bahkan jika
ada orang miskin yang datang ke rumahnya untuk meminta bantuan, ia tidak segan-segan
mengusirnya. Karena sifatnya yang kikir dan pelit itu, maka masyarakat di
sekitarnya memanggilnya Bagenda Endit, yang artinya orang kaya yang pelit.
Selain
memiliki harta warisan yang melimpah, Bagende Endit juga mewarisi pekerjaan
suaminya sebagai rentenir. Hampir seluruh tanah pertanian di desa itu adalah
miliknya yang dibeli dari penduduk sekitar dengan cara memeras, yaitu
meminjamkan uang kepada warga dengan bunga yang tinggi dan memberinya tempo
pembayaran yang sangat singkat. Jika ada warga yang tidak sanggup membayar
hutang hingga jatuh tempo, maka tanah pertaniannya harus menjadi taruhannya.
Tak heran jika penduduk sekitarnya banyak yang jatuh miskin karena tanah
pertanian mereka habis dibeli semua oleh janda itu.
Suatu
hari, ketika Bagende Endit sedang asyik menghitung-hitung emas dan permatanya
di depan rumahnya, tiba-tiba seorang perempuan tua yang sedang menggendong bayi
datang menghampirinya.
“Bagende
Endit, kasihanilah kami! Sudah dua hari anak saya tidak makan,” kata perempuan
itu memelas.
“Hai
perempuan tua yang tidak tahu diri! Makanya, jangan punya anak kalau kamu tidak
mampu memberinya makan! Enyahlah kau dari hadapanku!” bentak Bagende Endit.
Bayi
di gendongan perempuan itu pun menangis mendengar suara bentakan Bagende Endit.
Karena kasihan melihat bayinya, pengemis tua itu kembali memohon kepada janda
kaya itu agar memberikan sesuap nasi untuk anaknya. Tanpa sepatah kata, Bagende
Endit masuk ke dalam rumah. Alangkah senangnya hati perempuan tua itu, karena
mengira Bagende Endit akan mengambil makanan.
“Cup...
cup... cup...! Diamlah anakku sayang. Sebentar lagi kita akan mendapatkan
makanan,” bujuk perempuan itu sambil menghapus air mata bayinya.
Tak
berapa lama kemudian, Bagende Endit pun keluar. Namun, bukannya membawa
makanan, melainkan sebuah ember yang berisi air dan tiba-tiba Bagende Endit
menyiramkannya ke arah perempuan tua itu.
“Byuuurrr...!
Rasakanlah ini hai perempuan tua!” seru Bagende Endit.
Tak
ayal lagi, sekujur tubuh perempuan tua dan bayinya menjadi basah kuyup. Sang
bayi pun menangis dengan sejadi-jadinya. Dengan hati pilu, perempuan tua itu
berusaha mendiamkan dan menyeka tubuh bayinya yang basah kuyup. Melihat
perempuan tua belum juga pergi, janda kaya yang tidak berpesan itu semakin
marah. Dengan wajah garang, ia segera mengusir perempuan tua itu keluar dari
pekarangan rumahnya. Setelah perempuan tua itu pergi, Bagende Endit kembali
masuk ke dalam rumahnya.
Keesokan
harinya, beberapa warga datang ke rumah Bagende Endit meminta air sumur untuk
keperluan memasak dan mandi. Kebetulan di desa itu hanya janda kaya itulah
satu-satunya yang memiliki sumur dan airnya pun sangat melimpah. Sementara
warga di sekitarnya harus mengambil air di sungai yang jaraknya cukup jauh dari
desa.
“Bagende
Endit, tolonglah kami! Biarkanlah kami mengambil air di sumur Bagende untuk
kami pakai memasak. Kami sudah kelaparan,” iba seorang warga dari luar pagar
rumah Bagende Endit.
“Hai,
kalian semua! Aku tidak mengizinkan kalian mengambil air di sumurku! Jika
kalian mau mengambil air, pergilah ke sungai sana!” usir Bagende Endit.
Para
warga tersebut tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, mereka pun terpaksa pergi
ke sungai untuk mengambil air. Tak berapa lama setelah warga tersebut berlalu,
tiba-tiba seorang kakek tua renta berdiri sambil memegang tongkatnya di depan
rumah Bagenda Endit. Kakek itu juga bermaksud untuk meminta air tapi hanya
untuk diminum.
“Ampun
Bagende Endit! Berilah hamba seteguk air minum. Hamba sangat haus,” iba Kakek
itu.
Bagende
Endit yang sejak tadi sudah merasa kesal menjadi semakin kesal melihat
kedatangan kakek tua itu. Tanpa sepata kata pun, ia keluar dari rumahnya lalu
menghampiri dan merampas tongkat sang kakek. Dengan tongkat itu, ia kemudian
memukuli kakek itu hingga babak belur dan jatuh tersungkur ke tanah. Melihat
kakek itu tidak sudah tidak berdaya lagi, Bagende Endit membuang tongkat itu di
samping kakek itu lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya.
Sungguh
malang nasib kakek tua itu. Bukannya air minum yang diperoleh dari janda itu
melainkan penganiayaan. Sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, kakek
itu berusaha meraih tongkatnya untuk bisa bangkit kembali. Dengan sisa-sisa
tenaga yang dimilikinya, kakek itu menancapkan tongkatnya di halaman rumah
Bagende Endit. Begitu ia mencabut tongkat itu, tiba-tiba air menyembur keluar
dari bekas tancapan tongkat itu. Bersamaan dengan itu, kakek itu pun menghilang
entah ke mana.
Semakin
lama semburan air itu semakin besar dan deras. Para warga pun berlarian
meninggalkan desa itu untuk menyelamatkan diri. Sementara itu, Bagende Endit
masih berada di dalam rumahnya hendak menyelamatkan semua harta bendanya. Tanpa
disadarinya, ternyata air telah menggenangi seluruh desa. Ia pun berusaha untuk
menyelamatkan diri sambil berteriak meminta tolong.
“Tolooong....
Toloong... Tolong aku! Aku tidak bisa berenang!” teriak Bagende Endit meminta
tolong sambil menggendong sebuah peti emas dan permatanya.
Bagende
Endit terus berteriak hingga suaranya menjadi parau. Namun tak seorang pun yang
datang menolongnya karena seluruh warga telah pergi meninggalkan desa. Janda
kaya yang pelit itu tidak bisa lagi menyelamatkan diri dan tenggelam bersama
seluruh harta kekayaannya. Semakin lama, desa itu terus tergenang air hingga
akhirnya lenyap dan menjadilah sebuah danau yang luas dan dalam. Oleh
masyarakat setempat, danau itu diberi nama Situ Bagendit. Kata situ
berarti danau yang luas, sedangkan kata bagendit diambil dari nama
Bagende Endit.
0 comments:
Post a Comment