Dahulu,
di perairan sebelah utara Jawa Timur, hiduplah seekor baya atau buaya
dan seekor sura (hiu) yang saling bermusuhan. Kedua binatang buas yang
sama-sama tangkas, kuat, dan ganas tersebut hampir setiap saat berkelahi untuk
memperebutkan mangsa. Mereka kerap bertarung hingga berhari-hari lamanya, namun
tidak pernah ada yang kalah maupun menang. Meskipun perilaku kedua binatang
buas ini kerap mengganggu ketenteraman, namun tak satu pun hewan yang berani
menghentikan pertikaian mereka.
Suatu ketika, si Baya dan si Sura merasa bosan terus-terusan
berkelahi. Mereka sepakat untuk berdamai.
“Hai, Baya. Aku sudah bosan terus-terusan berkelahi,” kata si
Sura.
“Benar katamu. Aku pun merasa demikian,” jawab si Baya. “Lalu, apa
yang harus kita lakukan untuk menghentikan permusuhan ini?”
“Hmmm... bagaimana kalau daerah kekuasaan kita bagi dua. Aku
sepenuhnya berkuasa di dalam air. Semua mangsa yang ada di dalam air menjadi
bagianku. Sementara kamu sepenuhnya berkuasa di daratan. Jadi, mangsamu hanya
yang berada di daratan,” usul Sura. “Tapi, perlu kamu ketahui bahwa antara
darat dan air yaitu adalah tempat yang dicapai air laut pada waktu pasang.”
“Baik, Sura. Aku setuju dengan usulanmu,” jawab si Baya.
Sejak itulah, si Baya dan si Sura tidak pernah lagi berkelahi.
Binatang-binatang lain yang ada di sekitar mereka pun hidup tenteram dan damai.
Namun, kedamaian itu tidak berlangsung lama. Gara-garanya adalah Si Sura
beberapa kali mencari mangsa di sungai, bukan di laut. Suatu hari, ketika si
Sura mencari mangsa di sungai, si Baya akhirnya memergokinya. Tentu saja si
Baya marah sekali melihat perilaku Si Sura.
“Hai, Sura. Berani-beraninya kamu memasuki wilayah kekuasaanku!
Mengapa kamu melanggar perjanjian kita?” tanya si Baya dengan kesal.
“Siapa yang melanggar perjanjian? Hai, Baya, apakah kamu ingat isi
perjanjian kita dulu bahwa akulah yang berkuasa di wilayah air? Bukankah sungai
ini juga ada airnya?” kata si Sura.
Benar apa yang dikatakan si Sura. Tapi, si Baya tetap bersikeras
ingin mempertahankan daerah kekuasaannya.
“Hai, Sura. Aku tahu kalau sungai ini ada airnya. Tapi, bukankah
kamu lihat sendiri bila sungai ini berada di darat?” tanya si Baya, “Itu
berarti sungai ini daerah kekuasaanku, sedangkan daerah kekuasaanmu ada di
laut.”
Namun, si Sura tetap merasa bahwa alasannya yang paling kuat.
“Tidak bisa, Baya! Aku tidak pernah mengatakan bahwa air itu hanya
ada di laut, tetapi air itu juga ada di sungai.”
“Hai, Sura. Kamu memang sengaja mencari gara-gara. Aku tidak
sebodoh yang kamu kira,” kata si Baya.
“Ha... ha... ha...,” si Sura tertawa terbahak-bahak. “Hai, Baya.
Aku tidak perduli kamu bodoh atau pintar. Yang jelas sungai ini adalah wilayah
kekuasaanku!”
Merasa ditipu, si Baya pun meminta agar perjanjian itu dibatalkan
dan menantang si Sura untuk saling mengadu kekuatan.
“Baiklah kalau begitu, Sura. Perjanjian kita batal! Yang penting
sekarang, siapa yang lebih kuat di antara kita, dialah yang akan menjadi
penguasa tunggal di wilayah ini,” tegas si Baya.
“Kamu menantangku berkelahi lagi, Baya? Siapa takut?” jawab si
Sura.
Akhirnya, pertarungan sengit pun kembali terjadi antara kedua
binatang buas itu. Kali ini, mereka bertarung mati-matian karena siapa pun di
antara mereka yang kalah, dia harus meninggalkan wilayah tersebut. Tanpa
menunggu waktu lagi, si Baya langsung menerjang si Sura yang berada di dalam
air. Sementara itu, si Sura yang sudah bersiap-siap dengan cepat berkelit
menghindari serangan. Si Sura dan si
Baya masih saling menerkam dan menggigit. Dalam suatu serangan, si Sura
berhasil menggigit pangkal ekor si Baya. Air sungai yang semula jernih pun
langsung berubah menjadi merah akibat darah yang keluar dari luka si Baya.
Meskipun dalam keadaan terluka parah, si Baya terus berupaya melakukan
perlawanan. Usahanya tidak sia-sia karena ia berhasil menggigit ekor si Sura
hingga hampir terputus. Tak ayal, si Sura pun menjerit kesakitan seraya
melarikan diri menuju lautan.
Si Baya merasa puas karena mampu mempertahankan wilayah kekuasaannya.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, masyarakat setempat menamakan daerah
tersebut “Surabaya”, yaitu diambil dari gabungan kata Sura dan Baya.
Oleh pemerintah setempat, gambar ikan Sura dan Buaya dijadikan sebagai lambang
kota Surabaya yang hingga kini masih dipakai.
* * *
Demikian ceritaAsal Usul Nama Surabaya dari daerah
Jawa Timur. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa
sifat serakah seperti yang dimiliki si Sura dapat mendatangkan kerugian. Akibat
keserakahannya, si Sura hampir kehilangan ekornya akibat gigitan si Baya.
0 comments:
Post a Comment