Di
sebuah jembatan penyeberangan tak beratap, matahari menantang garang di langit
Jakarta yang berselimut karbon dioksida. Orang-orang melintas dalam gegas
bersimbah peluh diliputi lautan udara bermuatan asap knalpot. Lelaki setengah
umur itu masih duduk di situ, bersandarkan pagar pipa-pipa besi, persis di
tengah jembatan. Menekurkan kepala yang dibungkus topi pandan kumal serta tubuh
dibalut busana serba dekil, tenggorok di atas lembaran kardus bekas air
kemasan. Di depannya sebuah kaleng peot, nyaris kosong dari uang receh logam
pecahan terkecil yang masih berlaku. Dan, di bawah jembatan, mengalir kendaraan
bermotor dengan derasnya jika di persimpangan tak jauh dari jembatan itu
berlampu hijau. Sebaliknya, arus lalu lintas itu mendadak sontak berdesakan
bagai segerombolan domba yang terkejut oleh auman macan, ketika lampu tiba-tiba
berwarna merah.
Lelaki
setengah umur yang kelihatan cukup sehat itu akan “tutup praktik” ketika
matahari mulai tergelincir ke Barat. Turun dengan langkah pasti menuju lekukan
sungai hitam di pinggir jalan, mendapatkan gerobak dorong kecil beroda besi
seukuran asbak. Dari dalam gerobak yang penuh dengan buntelan dan tas-tas
berwarna seragam dengan dekil tubuhnya, ia mencari-cari botol plastik yang berisi
air entah diambil dari mana, lalu meminumnya. Setelah itu ia bersiul beberapa
kali. Seekor anjing betina kurus berwarna hitam muncul, mengendus-endus dan
menggoyang-goyangkan ekornya. Ia siap berangkat, mendorong gerobak kecilnya
melawan arus kendaraan, di pinggir kanan jalan. Anjing kurus itu melompat ke
atas gerobak, tidur bagai anak balita yang merasa tenteram di dodong ayahnya.
Melintasi
pangkalan parkir truk yang berjejer memenuhi trotoar, para pejalan kaki
terpaksa melintas di atas aspal dengan perasaan waswas menghindari kendaraan
yang melaju. Lelaki itu lewat begitu saja mendorong gerobak bermuatan anjing
dan buntelan-buntelan kumal miliknya sambil mencari-cari puntung rokok yang
masih berapi di pinggir jalan itu, lalu mengisapnya dengan santai. Orang-orang
menghindarinya sambil menutup hidung ketika berpapasan di bagian jalan tanpa
tersisa secuil pun pedestrian karena telah dicuri truk-truk itu.
Lelaki
setengah umur itu memarkir gerobak kecilnya di bawah pokok akasia tak jauh
setelah membelok ke kanan tanpa membangunkan anjing betina hitam kurus yang
terlelap di atas buntelan-buntelan dalam gerobak itu. Ia menepi ke pinggir
sungai yang penuh sampah plastik, lalu kencing begitu saja. Ia tersentak kaget
ketika mendengar anjingnya terkaing. Seorang bocah perempuan ingusan yang
memegang krincingan dari kumpulan tutup botol minuman telah melempari anjing
itu. Lelaki itu berkacak pinggang, menatap bocah perempuan ingusan itu dengan
tajam. Bocah perempuan ingusan itu balas menantang sambil juga berkacak
pinggang. Anjing betina hitam kurus itu mengendus-endus di belakang tuannya,
seperti minta pembelaan.
Lelaki
itu kembali mendorong gerobak kecilnya dengan bunyi kricit- kricit roda besi
kekurangan gemuk. Anjing betina kurus berwarna hitam itu kembali melompat ke
atas gerobak, bergelung dalam posisi semula. Bocah perempuan yang memegang
krincingan itu mengikuti dari belakang dalam jarak sepuluh meteran. Bayangan
jalan layang tol dalam kota, melindungi tiga makhluk itu dari sengatan
matahari. Sementara lalu lintas semakin padat, udara semakin pepat berdebu.
Tiba-tiba,
lelaki setengah umur itu membelokkan gerobak kecilnya ke sebuah rumah makan
yang sedang padat pengunjung. Dari jauh, seorang satpam mengacung-acungkan
pentungannya tinggi-tinggi. Lelaki itu seperti tidak memedulikannya, terus saja
mendorong hingga ke lapangan parkir sempit penuh mobil di depan restoran itu.
Sepasang orang muda yang baru saja parkir hendak makan, kembali menutup pintu
mobilnya sambil menutup hidung ketika lelaki itu menyorongkan gerobaknya ke
dekat mobil sedan hitam itu. Seorang pelayan rumah makan itu berlari tergopoh-
gopoh keluar, menyerahkan sekantong plastik makanan pada laki-laki itu sambil
menghardik.
“Cepat
pergi!”
Lelaki
setengah umur itu menghentikan gerobak kecilnya di depan sebuah halte bus kota.
Mengeluarkan beberapa koin untuk ditukarkan dengan beberapa batang rokok yang
dijual oleh seorang penghuni tetap halte itu dengan gerobak jualannya.
Orang-orang yang berdiri di dekat gerobak rokok itu menghindar tanpa peduli. Halte
itu senantiasa ramai karena tak jauh dari situ ada satu jalur pintu keluar
jalan tol yang menukik dan selalu sesak oleh mobil-mobil yang hendak keluar.
Lelaki itu meneruskan perjalanannya menuju kolong penurunan jalan layang tol
itu. Meski berpagar besi, telah lama ada bagian yang sengaja dibolongi oleh
penghuni-penghuni kolong jalan layang itu untuk dijadikan pintu masuk. Tempat
lelaki setengah umur itu di pojok yang rada gelap dan terlindung dari hujan dan
panas. Dari dulu tempatnya di situ, tak ada yang berani mengusik. Kecuali
beberapa kali ia diangkut oleh pasukan tramtib kota, lalu kemudian dilepas dan
kembali lagi ke situ. Ia lalu membongkar isi gerobaknya, mengeluarkan lipatan
kardus dan mengaturnya menjadi tikar. Anjing betina berwarna hitam kurus itu
mengibas-ngibaskan ekornya ketika lelaki itu mengambil sebuah piring plastik
dari dalam buntelan, lalu membagi makanan yang didapatnya dari rumah makan
tadi. Keduanya makan dengan lahap tanpa menoleh kanan-kiri.
Bocah
perempuan ingusan itu berdiri dari jauh di bawah kolong jalan layang itu,
memandang dengan rasa lapar yang menyodok pada dua makhluk yang sedang asyik
menikmati makan siang itu. Ia memberanikan dirinya menuju kedua makhluk itu,
lalu bergabung makan dengan anjing betina berwarna hitam kurus itu. Ternyata
anjing betina itu penakut. Ia menghindar dan makanan yang tinggal sedikit itu
sepenuhnya dikuasai bocah perempuan itu dan ia melahapnya. Sedang lelaki
setengah umur itu tidak peduli, meneruskan makannya hingga licin tandas dari
daun pisang dan kertas coklat pembungkus. Mengeluarkan sebuah botol air kemasan
berisi air, meminumnya separuh. Tanpa bicara apa- apa, bocah perempuan ingusan
itu menyambar botol itu dan meminumnya juga hingga tandas. Lelaki setengah umur
itu hanya memandang, sedikit terkejut, tapi tidak bicara apa-apa. Air mukanya
tawar saja. Mengeluarkan rokok dan membakarnya sambil bersandar pada gerobak
kecilnya. Tergeletak tidur setelah itu di atas bentangan kardus kumal.
Malam
telah larut. Bocah perempuan ingusan itu terbirit-birit dikejar gerimis yang
mulai menghujan. Rambutnya yang nyaris gimbal itu kini melekat lurus-lurus di
kulit kepalanya disiram gerimis. Bunyi krincingan dan kresek-kresek kantong
plastik yang dibawanya membangunkan anjing betina kurus berwarna hitam itu. Ia
menyalak sedikit, kemudian merungus setelah dilempari sepotong kue oleh bocah
itu. Lewat penerangan jalan, samar- samar dilihatnya lekaki setengah umur itu
tidur bergulung bagai angka lima di atas kardus. Setelah melahap kue, anjing
itu kembali tidur di sebelah tuannya, di atas bentangan kardus yang tersisa.
Bocah
itu mengeluarkan lilin dan korek api dari dalam kantong plastik. Berkali-kali
menggoreskan korek api, padam lagi oleh tiupan angin bertempias. Lalu ia
mendekat ke arah lelaki setengah umur itu agar lebih terlindung oleh angin dan
berhasil menyalakan lilin. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersembul
dari dalam gerobak kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha
menariknya keluar tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu.
Setelah berhasil, ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena
pakaiannya basah. Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekadar
mendapatkan imbasan panas dari tubuh lelaki itu.
Bocah
perempuan ingusan itu cepat terlelap dan bermimpi berperahu bersama anjing
betina kurus berwarna hitam itu di sebuah danau yang sunyi. Deru mesin mobil
yang melintasi jembatan beton di atas mereka justru menimbulkan rasa tenteram,
rasa hidup di sebuah kota yang sibuk. Lelaki setengah umur itu juga sedang
bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika ia membalikkan badannya, ia
menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah itu dan melanjutkan
mimpinya.
Sebelumnya,
kolong penurunan jalan layang tol itu cukup padat penghuninya di malam hari.
Beberapa anak jalanan yang sehari- hari mengamen di sepanjang jalan bawah, juga
bermalam di situ. Ada lima anak jalanan laki-laki yang selalu menjahili bocah
perempuan yang selalu membawa krincingan itu sampai menangis berteriak-teriak.
Lelaki setengah umur itu membiarkannya saja. Mungkin menurutnya sesuatu yang
biasa-biasa saja, meskipun anak-anak lelaki itu sampai-sampai menelanjangi
bocah perempuan ingusan itu. Penghuni lain pun tak ada yang berani membela.
Sejak itu, bocah perempuan ingusan itu menghilang, entah tidur di mana.
Lelaki
setengah umur itu mulai marah ketika suatu hari ia membawa seekor anjing betina
kurus berwarna hitam ke markasnya. Mungkin anjing itu kurang sehat hingga
semalaman anjing itu terkaing-kaing. Lelaki itu tampak berusaha keras mengobati
anjing itu dengan menyuguhkan makanan dan air. Tapi, anak-anak jalanan yang
jahil itu melempari anjing itu dengan batu. Salah satu batunya mengenai kepala
lelaki itu. Lelaki itu meradang, lalu mengambil golok di dalam timbunan
buntelan dalam gerobak kecilnya. Anak-anak itu dikejarnya. Konon salah seorang
terluka oleh golok itu. Namun, mereka tak ada yang berani melawan dan tak
berani kembali lagi.
Sebelum
subuh, pasukan tramtib itu datang lagi, lengkap dengan polisi dan beberapa truk
dengan bak terbuka pengangkut gelandangan. Sebelum matahari muncul, kolong-
kolong jembatan dan jalan layang harus bersih dari manusia-manusia kasta paling
melata itu. Mimpi lelaki itu tersangkut bersama gerobaknya di atas bak truk.
Begitu juga bocah perempuan itu. Lelaki setengah umur itu menggapai-gapaikan
tangannya, minta petugas menaikkan anjingnya yang menyalak-nyalak, minta ikut
bersama tuannya. Tapi, sebuah pentungan kayu telah mendarat di kepala anjing
kurus itu hingga terkaing-kaing, berlari ke seberang jalan dan hilang ditelan
kegelapan.
“Mampus
kau, anjing kurapan!” sumpah petugas itu sambil melompat ke atas truk yang
segera berangkat.
Bak
truk terbuka itu nyaris penuh, termasuk tukang rokok di halte dekat situ.
Lelaki setengah umur itu tampak geram. Matanya mencorong ke arah petugas yang
memegang pentungan. Petugas itu pura-pura tidak melihat. Hujan telah berhenti.
Iringan truk yang penuh manusia gelandangan kota yang dikawal mobil polisi
bersenjata lengkap di depannya, menuju ke suatu tempat arah ke Utara, dan
kemudian membelok ke kanan. Dari pengeras suara di puncak-puncak menara masjid
terdengar azan subuh bersahut-sahutan. Bulan semangka tipis masih menggantung
di langit, kadang-kadang tertutup awan yang bergerak ke Barat.
Beberapa
minggu kemudian, pelintas jembatan penyeberangan yang beratap itu, kembali
menemukan lelaki setengah umur itu berpraktik di tempat sebelumnya. Ia baru
turun mengemasi kaleng peot dan alas kardusnya ketika matahari mulai
tergelincir ke Barat. Melangkah dengan pasti, menuju tempat gerobak kecilnya
ditambatkan.
Di
depan pangkalan truk yang telah menyempitkan jalan, lelaki itu mendorong
gerobak kecilnya dengan santai sambil mengawasi puntung-puntung rokok yang
masih berapi dilempar sopir-sopir truk ke jalan. Ada yang sengaja melemparkan
puntung rokoknya ketika laki- laki bergerobak itu melintas. Di atas gerobaknya,
kini bertengger bocah perempuan ingusan itu sambil terus bernyanyi dengan
iringan krincingannya. Orang-orang tak ada yang peduli.*
ANALISA CERPEN
UNSUR
INTRINSIK
1.
Tema
Tema pada cerpen tersebut adalah tentang perjuangan hidup.
2.
Latar dan alur
Latar cerita di dalam cerpen itu adalah Kota Jakarta. Cerita tersebut
menggunakan alur maju.
3.
Tokoh
Tokoh di dalam cerita itu adalah Lelaki setengah umur dan Bocah perempuan
Karakter lelaki setengah umur
Penyayang:
Pembuktian dari tokoh lelaki setengah umur ini penyayang adalah pada
kutipan cerita sebagai berikut:
“….Lelaki setengah umur itu mengambil sebuah piring plastik dari dalam
buntelan lalu memberi makan yang didapatnya dari rumah makan tadi. Keduanya
makan dengan lahap tanpa menoleh kanan kiri.”
Dari kutipan cerita di atas didapatkan bahwa si Lelaki setengah umur itu
memiliki sifat penyayang terhadap bocah perempuan kecil yang membawa
kerincingan dari tutup botol minuman itu walaupun mereka tidak saling mengenal.
Dengan rela ia berbagi makanan dengan gadis itu agar mereka berdua tidak
kelaparan.
Pembuktian sifat penyayang lainnya yang dimiliki oleh lelaki itu adalah
sebagai berikut:
“…. Deru mesin mobil yang melintas jembatan beton di atas mereka justru
menimbulkan rasa tenteram, rasa hidup di sebuahn kota yang sibuk. Lelaki
setengah umur itu juga sedang bermimpi tidur dengan seorang perempuan. Ketika
ia membalikkan badannya, ia menangkap erat-erat tubuh bocah yang setengah basah
itu dan melanjutkan mimpinya.”
Dari kutipan cerita di atas didapatkan pembuktian bahwa si tokoh (lelaki
setengah umur) itu memang benar-benar penyayang. Dia berusaha menghangatkan
bocah perempuan yang kedinginan tidur dengan cara mendekapnya, agar si bocah
perempuan itu merasa hangat.
4.
Karakter Bocah Perempuan
Karakter Bocah Perempuan itu adalah pemberani, hal ini terdapat pada
kutipan berikut:
“…Seorang bocah perempuan ingusan yang memegang kerincingan dari kumpulan
tutup botol minuman telah melempari anjing itu. Lelaki itu berkacak pinggang
enatap bocah perempuan itu dengan tajam. Bocah perempuan itu balas menantang
sambil berkacak pinggang.”
5.
Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan penulis pada cerpen tersebut menggunakan
sudut pandang orang ketiga.
6.
Amanat
Amanat yang disampaikan oleh penulis dalam cerpen itu adalah:
a. jangan pantang menyerah
dalam menjalani hidup dan mensyukuri atas karunia yang diberikan Tuhan
kepadanya.
b. berikanlah kasih sayang
kepada makhluk hidup.
UNSUR
EKSTRINSIK
Unsur ekstrinsik yang terdapat pada
cerpen itu adalah adanya nilai sosial, yakni:
1.
Di dalam cerpen itu digambarkan bahwa tokoh mau berbagi
tempat tidur dengan bocah perembuan yang selalu mengikutinya.
“….. Bocah itu melihat ujung lipatan kardus tersebut dari dalam gerobak
kecil di atas kepala lelaki setengah umur itu. Ia berusaha menariknya keluar
tanpa menimbulkan suara berisik dan membangunkan lelaki itu. Setalah berhasil,
ia membaringkan dirinya yang setengah menggigil karena pakaiannya basah.
Merapat pada tubuh lelaki yang memunggunginya itu, sekedar mendapatkan imbasan
panas dari tubuh lelaki itu.”
2.
Adanya perjuangan hidup yang digambarkan di dalam cerpen itu,
yakni:
a. Perjuangan hidup Lelaki
setengah umur dengan cara memulung dan mencari sisa-sisa makanan di restoran.
b. Perjuangan hidup Bocah
perempuan mencari makan dengan cara mengamen dan ia terus mengikuti si Lelaki
setengah umur dari belakang untuk mengharap belas kasih dan perlindungan.
Sumber :
0 comments:
Post a Comment