BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki
karakteristik sebagai negara multietnik. Di Indonesia diperkirakan terdapat 931
etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan ada yang kecil. Etnis besar
di Indonesia antara lain: Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bali, Minangkabau,
Batak, Dayak, Bugis, dan Cina. Sebagai Negara yang multietnis, tidak hanya
bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur, obat-obatan,
makanan, dan kesenian orang Indonesia pun berbeda-beda menurut etnisnya.
Indonesia ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka bunga
berwarna-warni. Akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik,
konflik akan mudah pecah. John Naisbitt dan Alfin Toffler memprediksikan
tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada
abad ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terkahir abad ke-20 memang
perlawanan terhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelompok etnik lain.
Berjuta-juta nyawa telah melayang dan banyak orang menderita akibat
pertarungan-pertarungan itu. Samuel Huntington[1] juga memprediksikan munculnya
perbenturan antar masyarakat “di masa depan” yang akan banyak terjadi dalam
bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang
selama ini dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan
budaya. Blok-blok dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap
agama dan kebudayaan.
Salah satu konflik yang berbau sara di Indonesia adalah konflik
yang terjadi di Maluku Utara, konflik ini pertama kali terjadi bulan Agustus
1999 yang di picu oleh pertikaian antara suku Kao yang merupakan suku asli
daerah tersebut dengan suku Makian yang merupakan pendatang dari pulau Makian
di daerah selatan pulau Ternate berkaitan dengan pegelolaan pertambangan emas
di kecamatan Malifut. Pada gelombang pertama jumlah korban jiwa hanya dalam
hitungan puluhan, demikian juga harta benda dan rusaknya tempat-tempat ibadah.
Konflik terus berlanjut pada bulan Oktober-November 1999. Skala
kerugian harta milik yang berkenaan dengan fasilitas-fasilitas publik dan
bangunan jauh melebihi kerugian yang terjadi pada bulan Agustus 1999. Pada
konflik ini kurang lebih 16 Desa Suku Makian diratakan dengan tanah, sementara
jumlah korban yang meninggal kurang 100 orang dan kebanyakan dari komunitas islam.
B.
RUMUSAN MASALAH
Sesuai
dengan judul makalah ini “Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Maluku”, maka
masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Bagaimana kronologi terjadinya konflik di Maluku yang akhirnya
menimbulkan pelanggaran HAM ?
2. Apa saja pendorong / penyebab terjadinya konflik di Maluku ?
3. Bagaimana upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM?
C.
TUJUAN PERMASALAHAN
Tujuan dari mengangkat materi ini tentang kasus hak asasi manusia
di Indonesia yaitu:
1. Untuk mengetahui proses terjadinya pelanggaran HAM dalam konflik
di Maluku
2. Untuk mengetahui upaya penyelesaian dan penanganan kasus
pelanggaran HAM yang terjadi dalam konflik Maluku.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pada Desember 1998, di beberapa daerah
di Ambon, perkelahian dan serangan pembakaran terjadi antara desa Kristen dan
Muslim, seringkali dipicu oleh TNI. Pada 14 Januari 1999, terjadi kerusuhan
antara umat Kristen dan Muslim di Dobo di tenggara Maluku. Hal yang paling
sering disebut sebagai pemicu konflik di Ambon adalah peristiwa pada 19 Januari
1999 selama liburan hari raya Muslim, yakni pada Idul Fitri.
Sebuah perselisihan kecil terjadi
antara seorang pemuda Kristen dari Mardika, kabupaten di kota Ambon, dengan
seorang pemuda Muslim dari Batumerah, sebuah desa di sebelah Mardika. Konflik
kecil ini memperburuk perpecahan yang sudah ada antara komunitas Kristen dan
Muslim, mempengaruhi desa – desa disekelilingnya ke dalam kekerasan. Pada
awalnya, perkelahian hanya terjadi antara orang Kristen Ambon dan pendatang
Muslim dari Sulawesi Selatan (Bugis, Buton dan Makassar), dengan masing –
masing meluncurkan serangan mendadak terhadap yang lain.
Pada fase awal konflik, target
kekerasan adalah pendatang Muslim dari Bugis, Buton dan Makassar, sebuah
kelompok yang posisinya yang dominan dalam pasar kerja dan sektor tenaga kerja
informal (contohnya pedagang pasar) menimbulkan kebencian.
Konflik di Maluku
mereda pada Mei 1999 ketika perhatian beralih pada awal kampanye pemilihan
umum. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) memenangkan pemilihan di
Ambon. PDI-P adalah reformulasi daripada Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang
tergabung dengan lima partai politik, termasuk Partai Kristen Indonesia
(PARKINDO). Secara historis, PARKINDO didukung oleh komunitas Kristen Ambon.
Dengan demikian PDI-P dianggap sebagai “partai Kristen” di Maluku. Kekerasan
meledak di Ambon pada Juli 1999 ketika kemenangan PDI-P diumumkan.
Puncak dari
konflik adalah serangan terhadap Gereja Silo dan pembantaian Tobelo pada 26
Desember 1999. Gereja Silo di tengah pusat kota Ambon adalah salah satu Gereja
Protestan Maluku (GPM) terbesar dan terbakar habis pada hari setelah Natal.
Pada hari yang sama hampir 800 Muslim di mesjid desa Tobelo dibunuh oleh pihak
Kristen. Pada 7 Januari 2000, setelah pembantaian di Tobelo, lebih dari 100.000
Muslim mengadakan protes di Jakarta di Lapangan Monas, menyerukan jihad di
Maluku.
Ketidakmampuan
pemerintah untuk menangani konflik menyebabkan kebangkitan Front Kedaulatan
Maluku (FKM) pada 2000, sebuah gerakan yang mengangkat warisan Republik Rakyat
Maluku (RMS). RMS dibentuk 1950 dan mengadvokasi kaum separatis dari negara
yang didominasi Muslim. RMS kemudian dianggap sebagai gerakan Kristen yang
memperburuk dinamika konflik antar agama.
Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi penurunan kekerasan pada akhir 2001. Serangan yang
berkepanjangan telah memisahkan masyarakat, sehingga secara logistik lebih
sulit bagi orang Muslim dan Kristen untuk menyerang satu sama lain. Sebuah
batalion gabungan khusus, Yongab, terdiri dari pasukan khusus angkatan darat,
angkatan laut dan angkatan udara, melakukan operasi terutama melawan Laskar
Jihad, termasuk terhadap basis mereka. Pada akhirnya, orang Maluku sering
mengatakan bahwa mereka telah lelah bertempur. Pemerintah pusat memulai
perundingan damai antara komunitas Kristen dan Muslim yang saat itu, pada tahun
2002, memuncak pada perjanjian perdamaian Malino II.
Kekerasan
sporadis dan pemboman berlanjut (termasuk serangan terhadap kantor DPRD dan
gubernur) tapi banyak berkurang dalam frekuensi dan intensitas sehingga status
darurat sipil dihapus di Maluku pada 2003. Titik balik penting lainnya adalah
serangan pada April 2002 di desa Soya, di mana 11 orang meninggal dan 22 rumah
dibom. Penduduk Soya adalah orang Kristen yang menganggap mereka aman dari serangan
karena letaknya yang jauh dari komunitas Muslim.
Sebuah
penyelidikan mengungkapkan bahwa Kopassus (pasukan khusus TNI) dan sebuah geng
Kristen yang melakukan serangan tersebut, bukan pihak Muslim seperti dicurigai
pada awalnya.27 Menurut banyak pengamat, Kopassus mencoba memperpanjang konflik
dengan menyewa geng Kristen untuk melakukan serangan. Berty Loupatty, salah
satu pemimpin preman Kristen, mengaku jika serangan Soya sebenarnya adalah
perintah Kopassus. Hal ini memberikan pihak Kristen dan Muslim sebuah alasan
yang sama atas penolakan mereka terhadap tentara. Sebuah kesamaan perasaan
sebagai korban mengurangi tingkat konflik komunal.
Pada April 2004,
lebih dari 40 orang tewas dalam kerusuhan menyusul pengibaran bendera RMS
dirumah pemimpin FKM. Kerusuhan pecah lagi di kota Ambon tapi mereda dalam
waktu satu minggu. Menyusul kerusuhan ini, pemboman kecil – kecilan terjadi
tetapi tidak memicu reaksi keras dari masyarakat lokal.
A. Kronologi Terjadinya Konflik
1999
|
Januari
|
Perkelahian jalanan
yang kecil meningkat menjadi kerusuhan di kota Ambon dan sekitarnya.
|
Maret
|
Kekerasan massal
menyebar ke pulau lain di Maluku.
|
|
Mei
|
Kampanye pemilihan
umum dimulai dan kekerasan berkurang.
|
|
Juni
|
Pemilihan umum.
|
|
Juli
|
Kekerasan massal
dimulai lagi di kota Ambon.
|
|
Oktober
|
Provinsi Maluku
Utara dipisah dari Provinsi Maluku.
|
|
Desember
|
Konflik meningkat setelah gereja Silo dibakar dan pembantaian terjadi di
desa Muslim Tobel.
|
|
2000
|
Mei
|
Laskar Jihad tiba di Ambon.
|
Juni
|
Pembantaian di
Galela dekat Tobelo di Maluku Utara.
Senjata polisi
dicuri dan disebarkan ke masyarakat sipil.
Darurat sipil
diberlakukan di Maluku dan Maluku Utara dan ribuan tentara dikerahkan.
|
|
Desember
|
Front Kedaulatan
Maluku (FKM) menyatakan kemerdekaan Republik Maluku Selatan (RMS).
|
|
2001
|
Januari
|
Batalyon Gabungan
(Yongab) melakukan “operasi pembersihan” dengan target kelompok garis keras
Muslim.
|
Juni
|
Yongab melakukan “operasi pembersihan” lainnya.
|
|
2002
|
Pebruari
|
Perjanjian Damai
Malino (Malino II) ditandatangani.
|
April
|
Kantor pemerintahan
provinsi Maluku dibakar.
Desa Soya diserang,
setelah itu kekerasan mulai berkurang di Maluku.
|
|
Mei
|
Pemimpin Laskar
Jihad, Ja’far Umar Talib dan FKM, Alex Manuputti ditangkap.
|
|
Oktober
|
Laskar Jihad hilang
dari Maluku.
|
|
2003
|
Mei
|
Darurat sipil dicabut dari provinsi Maluku Utara.
|
September
|
Darurat sipil dicabut dari provinsi Maluku.
|
|
2004
|
April
|
FKM mengibarkan
bendera RMS, memicu kerusuhan di kota Ambon yang menewaskan 40 orang.
|
Juni
|
Pemilihan umum.
|
B.
Pendorong/Penyebab Terjadinya Konflik
Konflik di Maluku sering digambarkan sebagai permusuhan lama
antara umat Muslim dan Kristen, walaupun kenyataannya lebih kompleks. Akibat
keterlibatan Eropa dalam perdagangan rempah pada abad ke-16, hampir sekitar
setengah dari penduduk Maluku sekarang adalah orang Kristen (50.2 persen
menurut sensus tahun 2000); dibandingkan wilayah lain di Indonesia di mana 88
persen penduduknya adalah Muslim.
Selama kurang lebih 350 tahun Belanda menjajah Indonesia, membagi
masyarakat Maluku menurut garis agama, secara geografis dan sosial. Praktek –
praktek tradisional diperkirakan telah meredam ketegangan antara pihak Kristen
dan Muslim dalam kondisi yang stabil sampai pada1970-an. ‘Pela –Gandong’,
sebuah sistem aliansi desa yang unik di Maluku Pusat, mengikat desa – desa
Kristen dan Muslim bersama – sama dan memainkan peran penting dalam hubungan
sosial tradisional dan pengalaman identitas budaya. Maluku mengalami banyak
perubahan sosial selama kepemerintahan Soeharto.
Hubungan damai antara Kristen dan Muslim yang terlihat hanyalah
lapisan luarnya saja. Penjajahan Belanda mengakibatkan orang Kristen diberi
akses yang lebih besar dalam pendidikan dan posisi politik, sedangkan Muslim
menjadi mayoritas pedagang dan pebisnis.
Menyusul kebijakan pemerintah untuk transmigrasi yang dimulai pada
1950-an, migrasi sukarela dari Bugis, Buton dan Makassar yang bertumbuh pada
1970-an, penduduk Maluku yang Muslim makin bertambah. Pada 1990, Soeharto
mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) sebagai alat untuk
mengamankan dukungan politik dari kelompok Islam ketika kekuasaannya atas
militer memudar.
Soeharto menggunakan ICMI sebagai penyeimbang terhadap militer.
ICMI menjadi sumber yang penting bagi perorangan untuk jabatan pemerintahan
yang penting, termasuk di Maluku. Pada 1992, M. Akib Latuconsina, direktur ICMI
di Maluku diangkat menjadi gubernur. Beliau adalah orang Maluku pertama dan
orang sipil pertama yang memegang jabatan tersebut, yang biasanya selalu
ditempati oleh pejabat militer dari Jawa. Pada 1996, semua bupati di provinsi
adalah Muslim. Perubahan ini membuat kesal penduduk Kristen dan lebih lagi
membagi Maluku ke dalam garis agama.
C.
Tokoh dan Inisiatif Pengelolaan Konflik
Berbagai upaya telah diambil untuk mengakhiri konflik, termasuk
yang dipimpin oleh petugas keamanan; pemerintahan pusat dan daerah; LSM
internasional dan lokal; masyarakat lokal dan kelompok perempuan. Dua
pendekatan yang luas terhadap pengelolaan konflik di Maluku muncul dari upaya
berikut: pendekatan keamanan dan darurat; dan pendekatan pemulihan dan
pembangunan.
Pengelolaan konflik sebelum Perjanjian Damai Malino pada Februari
2002 (Malino II) sebagian besar adalah bersifat reaktif. Tidak ada strategi
atau perencanaan jangka panjang baik oleh Pemerintah maupun masyarakat sipil.
Alat pengelolaan konflik yang utama digunakan adalah pengiriman bantuan dan
keamanan, mengandalkan pada militer yang didatangkan dari luar Maluku. Malino
II adalah sebuah titik balik yang signifikan ditandai dengan pengalihan ke
pendekatan pemulihan dan pembangunan.
Setelah proses perdamaian Malino II, pemerintah pusat dan daerah
menggunakan perangkat hukum – menangkap dan menuntut mereka yang memegang
senjata dan melakukan serangan – dan fokus kepada perencanaan pembangunan
jangka panjang dan pemulihan. Masyarakat sipil juga mengalihkan pendekatannya
dari bantuan darurat ke pembangunan dan pemulihan.
D. Upaya – upaya
1)
Dari masyarakat lokal untuk
menyelesaikan konflik
Sebelum
kedatangan bantuan darurat dari pemerintah pusat dan badan – badan
internasional ke Ambon, masyarakat lokal sangat bergantung kepada lembaga –
lembaga keagamaan untuk mendapat bantuan. Seperti yang dikatakan oleh seorang
penduduk Warigin di kota Ambon: “Kami menolong dan mendukung satu sama lain
dengan membagi persediaan makanan dan kebutuhan pokok lainnya, dan menerima pengungsi
di rumah kami. Tidak ada seorangpun yang menolong kami untuk waktu yang lama.
Kami bertahan hidup sendiri sampai bantuan darurat datang.”[1]
Di
antara masyarakat Kristen, gereja – gereja berfungsi sebagai pusat distribusi
untuk bantuan darurat.[2] Bantuan dalam masyarakat Muslim kurang teratur,
dengan mesjid – mesjid yang hanya berfungsi sebagai tempat penampungan bagi
umat Muslim. Pada fase konflik ini, ‘damai’ dianggap sebagai kata yang tabu
dalam banyak komunitas.
2)
Peran perempuan
“Perempuan
memiliki peran yang berpengaruh dalam keluarga. Sebagai istri, perempuan dapat
membujuk suami mereka untuk tidak terlibat dalam konflik dan sebagai ibu,
mereka dapat mendidik anak – anak mereka untuk tidak berprasangka terhadap
agama lain.”[3]
Perempuan
memainkan peran yang aktif dalam upaya penciptaan perdamaian di ambon.
Pertemuan antar agama dikalangan pengungsi perempuan tidak hanya menjamin
distribusi bantuan darurat kepada pengungsi, tapi juga menjadi ajang untuk
rekonsiliasi antara perempuan Muslim dan Kristen.
Perempuan
cukup aktif dalam organisasi sebagi bentuk kepedulian mereka menciptakan
perdamaian. Salah satu contoh yang kuat adalah Gerakan Perempuan Peduli (GPP)
yangdibentuk pada September 1999 oleh lebih dari 40 aktivis perempuan Muslim,
Protestan dan Katolik. Mereka mengorganisir aksi menentang kekerasan di Maluku
bahkan ketika konflik mencapai puncaknya. Mereka juga mengatur pertemuan dengan
pejabat pemerintah dan keamanan, pemimpin agama dan pemuda, juga melatih
relawan perempuan di lapangan mengenai mediasi dan konseling. GPP juga
bekerjasama dengan organisasi – organisasi perempuan di Maluku.
E.
Solusi
Pada dasarnya konflik yang terjadi di Maluku bukan semata-mata
karena masalah agama saja. Banyak aspek lain yang menjadi pemicu pecahnya
konflik ini sehingga menewaskan ribuan korban. Namun, perbedaan agama yang
dianut oleh masyarakat setempat menarik satu poin penting bahwa pemicu konflik
terbesar pada persengketaan Ambon tahun 1998 silam adalah karena perselisihan
agama.
Untuk mengatasi konflik semacam ini, ada beberapa pihak yang harus
berperan dalam menciptakan perdamaian dan menyelesaikan persengketaan, di
antaranya :
1.
Peran Pemerintah
Peran
pemerintah dalam menyelesaikan konflik bangsanya seyogyanya menjadi tugas besar
yang harus benar-benar direlisasikan. Pemerintah harus bisa mengkoordinir dan
mengambil alih untuk bertindak secara cepat meredam konflik yang tengah
terjadi.
Melalui
panglima angkatan militer, pemerintah memberikan komando khusus untuk segera
menyelesaikan konflik ke tempat kejadian. Dengan melakukan langkah-langkah yang
tegas dan nyata terhadap masyarakat yang bersengketa berdasarkan instruksi
pemerintah, maka akan menjadi awal yang tepat mengurangi pertikaian yang
terjadi.
Selanjutnya,
pembagian kekuasaan yang tidak merata dari agama tertentu yang menjadi salah
satu pemicu konflik, sepatutnya tidak terjadi. Untuk itu, sebaiknya pembagian
kekuasaan dalam memegang jabatan dilimpahkan kepada orang-orang yang mumpuni di
bidangnya, dengan tidak memandang status agamanya.
2.
Peran Pasukan Militer
Angkatan
bersenjata, yakni pasukan militer seharusnya terjun secara aktif melakukan
pengamanan di tengah pertikaian. Sebagai personil pertahanan negara, pasukan
militer wajib berperan besar membantu menyelesaikan konflik dengan strategi dan
tak-tik pengamanan yang tepat dan tanggap.
Kesiagaan
pasukan militer, dapat ditunjukkan salah satunya dengan persediaan senjata yang
memadai dan fungsional. Di samping itu, kesiapan para personil baik fisik
maupun mental juga menentukan seberapa besar dan berpengaruh peran pasukan
pengamanan bagi masyarakat.
3.
Kesadaran Masyarakat
Untuk
menghindarkan adanya konflik antaragama, interaksi dan komunikasi antarkelompok
agama perlu diselenggarakan secara terbuka lewat perilaku sosial yang
akomodatif. Stogdill[4] menyebutkan bahwa suatu sistem interaksi yang terbuka
akan membantu integritas dalam kelompok, menguatkan moral kelompok yang
bertindak, berinteraksi dan menguatkan harapan-harapan untuk mencapai tujuan
tertentu.
Dalam hal ini, bendera agama atau
aliran kepercayaan tidak dapat dipergunakan sebagai simbol interaksi. Hal ini
untuk menghindari perbenturan perbedaan konsep religius dan sentimen keagamaan
yang tajam. Jadi, tema-tema kemanusiaan seperti hak-hak asasi manusia,
solidaritas sosial, pelacuran, perjudian, kriminalitas, masalah kekerasan,
harmoni hidup secara damai, dan berbagai penyakit masyarakat lainnya, merupakan
tema-tema yang perlu dikembangkan dalam proses interaksi dan komunikasi
antaragama
BAB
III
KESIMPULAN
Walaupun banyak
usaha perdamaian, tidak ada strategi pengelolaan konflik yang jelas dan sedikit
koordinasi antara sejumlah tokoh di Ambon. Khususnya dalam kasus selama fase
darurat, ketika baik pemerintah pusat ataupun masyarakat sipil tidak memiliki
rencana jangka panjang atau pandangan ke masa depan dan pengelolaan konflik
bersifat reaktif. Petugas keamanan bertindak untuk mencegah kekerasan sementara
pemerintah lokal dan masyarakat sipil fokus kepada pendistribusian bantuan
kemanusiaan. Kurangnya koordinasi dan pertukaran informasi di antara pemangku
kepentingan yang berbeda merupakan masalah terbesar. Namun, beberapa komunitas
lokal mengambil sebuah strategi pengelolaan konflik yang efektif, seperti yang
ditunjukkan oleh contoh dari desa Wayame dan gerakan Baku Bae.
Banyak donor dan
LSM internasional juga meninggalkan Ambon menyusul tsunami di Aceh pada 2004
dan gempa bumi di Yogyakarta pada 2005, membuat lebih sulit bagi LSM lokal di
ambon untuk mengakses anggaran untuk pemulihan pasca kekerasan. Hanya setelah
penandatanganan Perjanjian Perdamaian Malino II kemudian pemerintah pusat dan
lokal secara serius menangani isu – isu yang berhubungan dengan konflik.
Prioritas Pemerintah adalah rekonstruksi infrastruktur dan juga pemukiman
kembali pengungsi. Namun, kurangnya sistem pertanggungjawaban dan transparansi
mengakibatkan anggaran untuk pemulihan konflik seringkali disalahgunakan.
Selain itu,
Pemerintah terlihat tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap keeratan
sosial dan juga trauma yang dialami para korban konflik, dan kebanyakan tugas
ini diambil oleh masyarakat sipil dan LSM. Banyak LSM lokal yang mengalami
kesulitan ketika mereka menggunakan dana untuk bantuan darurat tanpa
perencanaan yang konkrit mengenai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat lokal.
Revitalisasi adat Maluku, dipimpin oleh masyarakat sipil, adalah salah satu
strategi pengelolaan konflik yang lebih efektif.
Meskipun
kekerasan terbuka telah menurun, masalah masih tetap ada. Di Ambon, contohnya,
ada masalah pemisahan, pengangguran, sengketa tanah dan hak milik, meningkatnya
migrasi dari Jawa dan LSM yang dipisahkan oleh garis agama. Walaupun mempunyai
wewenang, dengan undang – undang desentralisasi untuk menciptakan peraturan
sendiri (peraturan daerah, perda), pemerintah daerah masih belum berhasil
menawarkan kebijakan yang jelas untuk menangani masalah struktural ini.
Sumber :
1 comments:
terima kasih, ini sangat membantu
Post a Comment